LAPAKSIJANTAN
Hujan dan Resah

Dina adalah seorang wanita karir di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor-impor barang. Dia sudah bekerja selama dua tahun di sana dan sudah sangat akrab dengan suasana kantor dan lingkungan kerja yang hiruk pikuk itu.

Dina adalah lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di kota Jakarta, seorang sekretaris dan sekaligus akuntan yang sangat mahir. Selain kecerdasan otak yang di milikinya, Dina juga adalah sosok wanita yang berparas cantik. Tak heran jika ia menjadi primadona dan idola yang di perebutkan oleh laki-laki di kantornya.

Sebagai gambaran, perawakan Dina lumayan sempurna bagi seorang sekretaris. Tubuhnya semampai dengan tinggi 160 cm, kulit nya sawo matang, rambut agak keriting matanya sayu membuat darah yang memandangnya berdesir. Ditambah lagi dengan pemilihan pakaiannya yang sangat elegan, semakin menggambarkan dia adalah gadis metropolis yang mandiri dan sosialita yang elegan.

Seperti itulah sehingga tak sedikit gadis-gadis seusianya yang iri kala membayangkan Dina yang mapan hidupnya pun eksotis penampilannya. Bahkan tidak sedikit pula yang mencibir dan bisik-bisik di belakangnya kala Dina memperlihatkan tingkah polanya yang manja dan sedikit nakal.

Demikianlah dia menikmati hari-hari bahagia itu. Segala urusan bisnis perusahaan berjalan lancar dan arus keluar masuk barang bertambah ramai pula hingga tibalah sebuah peristiwa mengerikan yang membuat semua berubah. Dina pun ikut terlibat dan masuk ke dalam drama yang mengerikan itu.

Hari demi hari pada awalnya di jalani Dina dan perusahaannya dengan gembira. Tidak ada raut-raut sedih di wajah para karyawan, gaji lancar kadang-kadang bonus pun dikucurkan sebagai imbalan atas prestasi dan keuntungan perusahaan yang kian pesat saja. Hingga satu waktu datanglah berita yang mengerikan itu. Sebuah virus bernama covid 19 menyerang seluruh dunia.

Virus yang mematikan dari Wuhan itupun masuk ke Indonesia lewat jalur kedatangan orang-orang dari Tiongkok. Penularannya merebak sangat cepat bak mengikuti arus angin. Banyak korban berjatuhan dan kematian dalam jumlah besar pun tak dapat di elakkan. Pemerintah mengumumkan status darurat yang melarang pergerakan manusia dalam jumlah yang besar. Tentu saja, keadaan itu berpengaruh juga terhadap kondisi perusahaan tempat Dina bekerja.

Arus keluar masuk barang makin tersendat. Kian hari jumlah barang yang masuk dan keluar semakin sedikit. Kepercayaan klien-klien dan mitra di luar negeri makin berkurang. Mereka khawatir dengan kondisi kesehatan masyarakat yang kian memburuk dan itu juga berdampak pada kondisi logistik yang di kirim melalui perusahaan. Apalagi, Indonesia di tetapkan sebagai salah satu episentrum penyebaran Virus Covid 19 dan itu membuat ketakutan menjadi-jadi.

Lambat laun, pemasukan perusahaan kian menipis hingga akhirnya terpaksa memberhentikan sebagian karyawannnya karena tidak mampu membayar gaji-gaji mereka. Singkat kata, perusahaan mendekati lumpu total dan di khawatirkan bakal kolaps jika terus menerus seperti itu. Semua staf dan karyawan yang masih bekerja mengalami pemotongan gaji, termasuk juga Dina yang penghasilannya terpaksa tersisih sebagian demi menutupi biaya operasional perusahaan yang kian membengkak.

Dalam keadaan kebingungan yang makin menjadi-jadi itu, tiba-tiba pak direktur mendapat kabar buruk pula. Istrinya meninggal dunia akibat terkena kanker payudara dalam sakit yang bertahun-tahun di deritanya. Sang istri direktur menghembuskan nafas terakhir setelah diberikan penanganan beberapa hari.

Bagai di sambar petir di siang hari, Agus Wahyono, direktur perusahaan berusia paruh baya itu menutup teleponnya. Lemas rasanya ia tak berdaya. Berat nian ujian yang harus dialaminya hingga seluruh tulang-tulangnya serasa retak dan badannya tak bisa di gerakkan.

Hari-hari itu di lalui sang direktur dengan keadaan yang sangat memprihatinkan. Sebagian aset perusahaan terpaksa harus di jual dan karyawan yang bekerja tersisa tinggal 1/4 dari jumlah normal. Dalam kondisi begitu, pak Agus tak dapat berpikir waras lagi. Dia mulai masuk dan terjebak di dunia malam yang gelap. Alkohol dan rokok jadi teman di hari-harinya yang berat. Makin hari hidupnya makin berantakan, seberantakan keadaan usahanya yang terpuruk. Dina ikut sedih dan prihatin menyaksikan kondisi pak Agus yang menyedihkan itu.

Suatu waktu, pak Agus memanggil Dina ke ruang kerjanya untuk menyampaikan hal yang menyedihkan itu. "Din, Dina. Kemari sebentar" panggil pak Agus dengan suara sedikit parau. "Iya pak, aku segera ke ruangan. Ada apa pak, apa yang bisa saya bantu?" tanya Dina seketika. "Gini Din, aku berencana menjual aset perusahaan ini seluruhnya" sahut pak Agus. "Kita tidak bisa bertahan dengan kondisi seperti ini"tambahnya.

"Lah kok gitu sih pak. Emang gak ada cara lain yaa"

"Aku udah pertimbangkan matang-matang, Din"

"Perusahaan ini bisa selamat kalau diakuisisi oleh perusahaan lain yang lebih mapan. Ada yang udah tawarin aku buat bantuin" terang pak Agus dengan setengah tertunduk.

"Sebenarnya sih ada cara lain Din. Cuma aku gak tega ngelakuin ini. Berat buat kamu" pak Agus menatap Dina serius.

"Maksudnya gimana yaa pak?. Apapun aku usahakan sekuat tenaga biar perusahaan ini gak kolaps. Aku utang budi yang banyak sama bapak dan juga perusahaan ini".

"Iyaa aku mengerti Din. Tapi syarat untuk melakukan itu agak berat kali ini. Kamu kenal Mr. Hanks kan, yang punya perusahaan tambang batubara di Kalimantan itu?. Dia mau bantu kita tapi ada syaratnya" pak Agus sedikit menekankan penyampaiannya.

Mendengar nama itu, sejurus Dina terperajat. Bukan apa-apa, lelaki bule lajang itu adalah orang yang telah lama mengincar wanita eksotis itu. Beberapa kali ia berusaha menggagahinya dengan alibi macam-macam. Maklum istrinya baru saja di ceraikan beberapa tahun lalu, gegara kedapatan berselingkuh dengan laki-laki lain.

Wajarlah jika ia sangat mendambakan kehadiran seorang wanita yang bisa menemani kesepiannya dan tempat menyalurkan hasrat birahinya yang tergolong maniak seks itu. Berapa kali pula Dina menolak secara halus berbagai ajakan makan malam dan karaoke darinya. Hingga akhirnya lelaki paruh baya itu akhirnya menyerah juga. Sekilas terlintas dipikirannya hal yang mengerikan bakal terjadi jika ia berurusan lagi dengan laki-laki bule itu.

"Din, Dina. Kok malah ngelamun" Pak Agus mengagetkan Dina.

"Eh, anu gak pak. Aku dengarin bapak kok. Jadi gimana pak?" Dina bertanya dengan gelagat agak sedikit panik.

"Jadi gini Din. Mr Hanks menawarkan bantuan modal yang lumayan besar. Cukup buat menopang perusahaan ini dua atau tiga tahun kedepan. Kita gak perlu ngejual aset atau memberhentikan karyawan lagi. Lagian dia adalah salah satu mitra kita yang paling setia menolong jika ada kesulitan pada perusahaan ini. Hanya saja, syarat yang di mintanya lumayan berat Din. Ini sulit" sambung pak Agus dengan sedikit ketus.

Beberapa saat tak ada suara yang keluar dari keduanya. Suasana berubah hening dan tak bersahabat. Keduanya terdiam seribu bahasa, hanya sesekali pak Agus kelihatan mengepulkan asap cigaret nya.

Dina pun demikian, ia termenung menerka apa yang harus di lakukannya untuk membantu perusahaan itu. Bayangan buruk sekelebat muncul di benaknya. Kengerian dan kejengkelan muncul. Namun di sisi lain, nasib perusahaan dan teman-teman karyawannya terbayang pula. Mereka akan kehilangan pekerjaan dan hidup terlunta-lunta jika PHK besar-besar bakal terjadi. Dalam kebingungan itu, tiba-tiba dering telepon berbunyi

"kring kring kring" begitulah keheningan itu terpecah.

"PT. Bangun Perkasa di sini, dengan siapa saya berbicara" demikian kalimat pak Agus saat mengangkat telepon itu.

"Oh ya pak, kami dari Telkom ingin memberitahukan bahwa tagihan internet belum dibayar udah 4 bulan pak" jawab orang yang berbicara di telepon itu

"Baik pak, saya tanyakan dulu sama staf saya. Nanti saya hubungi lagi yaa" sahut pak Agus lalu menutup teleponnya.

"Din, kamu dengar kan. Gimana terpuruknya kita sekarang " sejurus pak Agus menunduk lesu.

"Gini aja Din, kamu balik ke meja kamu dulu. Besok kita bicara lagi soal tawaran Mr Hanks yaa" pak Agus mempersilahkan Dina.

"Baik pak, aku ke ruangan dulu yaa"

Dina berbalik dan keluar dari ruangan itu dan kembali ke ruangannya.

Pukul 17.00 Dina kembali ke rumah kontrakannya. Lelah sekali rasanya hari itu. Walau tak ada dokumen yang di kerjakan, atau telepon dari klien yang sahut menyahut, tapi ia merasa hari itu paling sibuk. Dina membaringkan tubuhnya di kursi kamarnya, angin sepoi-sepoi membawanya tertidur dengan pulas.

Sekitar tengah malam, Dina terkaget. Rupanya ia ketiduran di kursi itu lama sekali. Hingga ia tak sempat makan malam. Dibukanya kulkas lalu diambilnya sereal dan dicampurnya dengan susu instan dalam kemasan karton itu. Dilahapnya sesendok dua hingga ia merasa cukup untuk mengganjal perutnya yang serasa menari-nari itu. Legalah sedikit ia kemudian

Semalam itu Dina memikirkan pembicaraan bersama pak Agus tadi. Hingar-bingar segala gambaran kengerian di pikirannya. Kengerian jika harus berjumpa dengan Mr Hanks dan kengerian jika suatu saat perusahaan tempatnya bekerja kolaps. Keduanya dibawa dalam lamunan. Diambilnya Handsfree lalu diputarnya playlist musik di HP nya. Dia rileks kan sejenak pikirannya hingga kembali tertidur lagi.

Most Liked Articles
Follow on Instagram
Idn Slot Online Slot Online GacorSitus Togel OnlineSitus Judi SbobetSitus Bola SbobetSitus Poker OnlineData SgpData SdyRtp LiveData Hk